Aku, Jamil (28 tahun), tinggal di sebuah kontrakan kecil di pinggiran kota. Setahun yang lalu, adik perempuanku, Dini (25 tahun), memutuskan pindah ke tempatku setelah suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil. Sebagai sales marketing, jam kerjanya fleksibel—kadang pulang siang, kadang malam. Aku sendiri bekerja sebagai desainer grafis freelance, jadi sering menghabiskan waktu di rumah.
Kontrakanku hanya punya dua kamar kecil dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Kami hidup sederhana, saling menghormati privasi meski dalam jarak yang dekat. Dini memang cantik, dengan tubuh ramping tapi berisi di tempat yang tepat. Aku selalu berusaha menahan diri untuk tidak memandangnya terlalu lama, meski kadang godaan itu sulit dihindari, terutama ketika dia pulang kerja dengan mengenakan blouse ketat atau duduk bersila di sofa sambil menonton TV.
Malam yang Tak Terlupakan
Suatu malam, aku terbangun karena ingin minum. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Aku berjalan keluar kamar menuju dapur, tapi langkahku terhenti saat melihat pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Dini duduk di sofa ruang tamu, hanya mengenakan kaos oblong longgar tanpa bra. Kakinya terbuka lebar, dan tangannya bergerak cepat di antara pahanya. Matanya terpejam, bibirnya mengatup erat, dan napasnya tersengal-sengal.
Aku terpaku. Darahku mengalir deras ke seluruh tubuhku, terutama ke satu tempat yang seharusnya tidak bereaksi saat melihat adikku sendiri.
Tiba-tiba, lantai kayu berderit.
Dini membuka matanya lebar-lebar. Begitu menyadari kehadiranku, wajahnya memerah padam.
"K-Kak...!" teriaknya lirih sambil buru-buru menarik kaosnya ke bawah.
Aku, yang masih shock, hanya bisa bergumam, "S-sorry, Nduk. Aku cuma mau minum..."
Dini langsung berlari ke kamarnya sambil memeluk bantal. Aku mendengar suara tangis kecil dari balik pintu.
Kembali Normal
Seminggu setelah kejadian itu, kami berhasil kembali ke rutinitas normal seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dini tetap sibuk dengan pekerjaannya sebagai sales marketing, seringkali pulang dengan membawa dokumen dan laptop yang harus diselesaikan. Aku pun fokus pada proyek desain grafis yang sedang kukerjakan.
Suatu sore, Dini pulang lebih awal dengan membawa beberapa bungkusan.
"Kak, aku beli martabak manis kesukaanmu," ujarnya sambil meletakkan makanan di meja kecil di ruang tamu.
"Aduh, makasih Nduk. Lagi kangen nih sama martabak ini," jawabku sambil langsung menyambar bungkusan itu.
Kami makan sambil menonton acara komedi di TV. Tertawa lepas bersama, sama sekali tidak ada kesan canggung di antara kami. Dini bahkan dengan santai bercerita tentang kliennya yang lucu hari itu.
"Tadi ada bapak-bapak mau nawarin aku jadi istri keduanya, Kak!" keluhnya sambil tertawa.
"Wah, harusnya tawarannya kamu rekam biar viral," godaku.
Dini melempar bantal kecil ke arahku. "Gak penting banget sih, Kak!"
Malam itu, kami tidur dengan perasaan lega. Semua sudah kembali normal. Dini tetap adik kecilku yang cerewet, dan aku tetap kakak yang suka menggodanya.
Seolah malam ketika aku tak sengaja melihatnya itu hanyalah mimpi yang telah berlalu.
Curhat Terpendam
Beberapa minggu berlalu setelah momen canggung itu. Suatu malam, kami sedang menonton film drama Korea di ruang tamu. Dini duduk bersila di ujung sofa, mengenakan piyama pendek yang memperlihatkan pahanya yang mulus. Aku mencoba fokus pada film, tapi mataku terus tertarik pada gerakan tangannya yang sesekali mengusap pahanya sendiri.
"Aku pernah baca, masturbasi itu normal, lho, Kak," ujar Dini tiba-tiba, memecah keheningan.
Aku terkejut. "Hah? Kok tiba-tiba bahas itu?"
Dini tersenyum malu. "Ya... soalnya aku masih malu sama kejadian waktu itu. Tapi aku mikir, kita kan dewasa. Semua orang pasti melakukannya."
Aku menghela napas. "Iya sih. Aku juga sering."
"ih.. iya kak?", katanya polos sambil cengengesan.
Permintaan yang Mengejutkan
Suasana menjadi hening sejenak. Lalu, dengan suara pelan, aku memberanikan diri.
"Kalau... kalau kamu nggak keberatan, boleh nggak kita lakukan itu bersama? Jadi nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi."
Dini menatapku, matanya membesar. "Maksud Kakak... kita masturbasi bareng di sini?"
Aku mengangguk, jantung berdebar kencang. "Iya. Biar nggak ada lagi rasa malu antara kita."
Pengalaman Pertama Bersama
Dini terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk. "Oke... tapi lampunya diminimalkan, ya."
Aku segera mematikan lampu utama, hanya menyisakan lampu kecil di sudut ruangan. Dengan gemetar, aku mulai membuka ritsleting celanaku. Dini pun perlahan melepas piyama pendeknya, hanya menyisakan celana dalam tipis.
Aku melihatnya dari sudut mataku. Tangannya mulai bergerak pelan di antara pahanya, bibirnya mengatup erat. Aku pun mulai menggosok batangku yang sudah keras.
Suara desahan kecil keluar dari mulut Dini. "Kak... aku nggak nyangka kita bakal melakukan ini..."
"Tenang, Nduk. Kita nggak melakukan hal yang salah," bisikku, mencoba menenangkannya—dan juga diriku sendiri.
Kepuasan yang Tak Terbendung
Kami terus melakukannya, saling mendengar desahan masing-masing. Kadang mata kami bertemu, lalu cepat-cepat memalingkan wajah karena malu. Tapi perlahan, rasa canggung itu berubah menjadi sesuatu yang... membangkitkan.
"Aku mau keluar, Nduk..." erangku pelan.
Dini mengangguk, napasnya semakin berat. "Aku juga, Kak... aku juga..."
Dan dalam beberapa gerakan terakhir, kami mencapai puncak bersama-sama.
Setelah itu, kami duduk diam beberapa saat, mencoba menenangkan napas.
"Kak... kita nggak akan bahas ini lagi, ya?" pinta Dini sambil memakai kembali piyamanya.
Aku mengangguk. "Iya, Nduk. Tapi kalau kamu butuh lagi... aku di sini."
Dini tersenyum kecil, lalu masuk ke kamarnya. Malam itu, kami tidur dengan perasaan aneh—campuran antara rasa bersalah dan kepuasan yang tak bisa diungkapkan.
Kembali Normal
Keesokan harinya, suasana di kontrakan terasa normal seperti biasa. Dini sudah bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan – nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi yang selalu jadi favoritku.
"Aduh, Nduk masakin nasi goreng lagi? Kamu mau bikin kakak tambah gemuk ya?" godaku sambil mengambil piring.
Dini menyeringai, wajahnya segar tanpa bekas kejadian semalam. "Iya dong, biar kakak makin gendut terus nggak laku-laku. Jadi bisa nemenin aku terus," balasnya dengan santai.
Kami sarapan sambil bercanda seperti biasa, seolah malam kemarin hanyalah mimpi.
Momen Spontan yang Menggelitik
Saat aku bersiap berangkat kerja, Dini berdiri di depan pintu untuk berpamitan.
"Hati-hati di jalan ya, Kak. Jangan lupa makan siang," ujarnya sambil merapikan kerah bajuku.
Aku tersenyum. "Iya, Nduk. Kamu juga jangan kelamaan di depan laptop nanti..."
Tiba-tiba, tanpa pikir panjang, aku mencium keningnya seperti biasa. Tapi saat yang bersamaan, Dini menoleh untuk mengatakan sesuatu.
Ciumanku meleset.
Bibirku menyentuh bibirnya yang lembut.
Kami membeku.
[Reaksi Spontan]
Selama mungkin tiga detik, bibir kami tetap menempel karena shock. Kemudian...
Kami sama-sama menarik diri, wajah memerah.
"Maaf, Kak! Aku nggak sengaja..." Dini buru-buru menutup mulutnya dengan tangan.
Aku menggaruk-garuk kepala. "Aku juga, Nduk. Reflek aja..."
Lalu tiba-tiba, Dini tersedu kecil. Aku panik, mengira dia akan menangis. Tapi ternyata...
Dia tertawa.
Tawa kecilnya yang khas, seperti bunyi lonceng kecil. Aku pun tak bisa menahan tawa.
"Gila ya kita, Kak. Kaya di sinetron aja," ujarnya sambil masih tersenyum.
Aku mengangguk, masih sedikit malu. "Iya deh, udah aku buru-buru berangkat aja. Nanti malah ketahuan tetangga kita ketawa-ketiwi pagi-pagi gini."
Pergi dengan Hati Ringan
Saat berjalan ke halte bus, aku masih bisa merasakan kehangatan bibir Dini. Rasanya aneh – salah, tapi entah mengapa membuat hatiku berbunga-bunga.
Sementara di rumah, Dini menyentuh bibirnya sendiri sambil tersenyum kecil sebelum akhirnya menggelengkan kepala dan mulai membereskan meja makan.
Hubungan kami tetap berlanjut seperti biasa setelah itu. Kadang saat menonton TV, bahu kami tak sengaja bersentuhan. Terkadang pandangan kami bertemu lalu sama-sama cepat memalingkan muka.
Tapi satu hal yang pasti – kami berdua diam-diam menyimpan kenangan manis itu dalam hati, sebagai rahasia kecil yang hanya kami berdua yang tahu.
Beberapa minggu setelah kejadian ciuman spontan itu, kami berusaha menjalani rutinitas seperti biasa. Namun ada ketegangan berbeda yang selalu mengambang di antara kami. Suatu Sabtu malam, aku pulang larut setelah meeting dengan klien. Kontrakan sudah gelap, hanya diterangi cahaya TV yang masih menyala.
Dini terlelap di sofa, mengenakan kaos oblong tipis dan celana pendek. Napasnya teratur, dadanya naik turun perlahan. Aku berdiri di depannya, menatap lekuk tubuhnya yang terlihat jelas di bawah cahaya TV.
Rasa yang Tak Terkendali
Tanpa kusadari, tanganku sudah meraih rambutnya yang terurai. Kulalukan jari-jariku di antara helaian rambutnya yang harum. Perlahan, tanganku turun menyentuh bahunya yang halus.
Dini bergerak sedikit tapi tidak terbangun.
Dorongan dalam diriku semakin kuat. Tanganku berani menyusur ke bawah, menyentuh lengannya yang mulus, lalu—
"Kak...?" suara Dini yang parau membuatku kaget.
Aku menarik tangan secepat kilat. "Maaf, Nduk! Aku—"
Dini mengangkat tubuhnya, matanya setengah terbuka. "Kakak mau lanjutin, ya?" bisiknya.
Titik Tidak Kembali
Aku tercekat. Darahku berdesir mendengar pertanyaannya.
Dini tak menunggu jawabanku. Tangannya menarik kaos oblongnya ke atas, melepasnya perlahan. "Aku juga pengen, Kak. Sudah lama..."
Aku tak percaya apa yang terjadi. Tapi tubuhku sudah merespons. Dengan gemetar, aku menyentuh kulit perutnya yang hangat.
"Kita... kita harus berhenti," gumamku, tapi tanganku justru meraba lebih dalam.
Dini menggeleng, tangannya membimbing tanganku ke bawah. "Jangan berhenti. Aku dewasa, Kak. Aku tahu apa yang aku mau."
Kesadaran Terakhir
Saat celanaku sudah terbuka dan Dini hanya mengenakan bra tipis, tiba-tiba dia berhenti.
"Tunggu, Kak." Dia meraih tas kecilnya di samping sofa. "Pakai ini."
Dia mengeluarkan kondom.
Aku terkejut. "Kamu sudah siapkan?"
Dini tersipu. "Aku... selalu siap sejak kejadian masturbasi bareng itu. Kalau-kalau..."
Cahaya televisi yang redup masih memantulkan siluet tubuh Dini yang setengah terbaring di sofa. Matanya separuh terpejam, bibirnya menguap kecil—gerakan polos yang justru membuat nafsuku semakin tak terbendung.
"Kak... aku masih ngantuk..." keluhnya lembut saat tanganku mulai menyusuri pinggangnya yang ramping.
Tapi aku sudah terlalu jauh larut dalam gejolak ini. Dengan gerakan agresif tapi penuh perhitungan, kuangkat tubuhnya yang ringan dan membaringkannya di sofa yang lebih luas.
"Tidur saja, Nduk. Biar kakak yang mengurus semuanya," bisikku sambil mencium lehernya yang harum.
Penaklukan yang Lembut tapi Menggebu
Dini pasrah, tubuhnya mengikuti setiap gerakanku seperti boneka kain. Tangannya yang malas mencoba meraih bahuku, tapi jatuh kembali karena beratnya kantuk.
Aku menyingkap sisa pakaiannya dengan sabar, menikmati setiap sentimeter kulitnya yang terbuka. Saat jari-jariku menyentuh bagian paling rahasianya, dia mengerang pelan—suara mengantuk yang justru semakin membakar nafsuku.
"Kakak... pelan-pelan..." bisiknya dengan suara parau.
Tapi aku sudah tidak bisa menahan diri. Dengan gerakan tegas, kudorong tubuhku masuk di antara pahanya.
Dance of Desire
Selama proses itu, Dini tetap dalam kondisi setengah sadar. Gerakannya lamban, tapi setiap erangan kecil yang keluar dari bibirnya membuatku semakin liar. Tangannya terkadang mencengkeram bahuku, lalu melemas lagi.
"Aduh... Kakak... terlalu... dalam..." keluhnya di antara napas pendek.
Kubisikkan kata-kata mesum di telinganya, membuat tubuh gemetarnya semakin jelas terasa. Perlahan tapi pasti, ritme kami mulai selaras—gerakanku yang agresif diimbangi dengan desahannya yang semakin sering.
Puncak dan Penyesalan
Saat klimaks datang, kami berdua gemetar. Aku menatap wajah Dini yang masih merah dan berkeringat, lalu tiba-tiba rasa bersalah menyergap.
"Nduk... maafkan kakak. Aku terlalu—"
Dini meletakkan jari di bibirku. "Sudah... nggak apa-apa, Kan pakai pengaman..."
Aftercare yang Manis
Dengan sisa tenaga, Dini membalikkan badan dan memeluk erat lenganku. "Aku mau kakak tidur di sini... dipeluk kakak..."
Kami tertidur dalam pelukan di sofa yang sempit, kulit masih saling menempel, hati penuh dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan.
Pagi yang Penuh Kejutan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela, menyentuh wajahku yang masih mengantuk. Aku merasa ada beban hangat di lenganku—Dini masih tertidur pulas, tubuh mungilnya melengkung mengikuti bentuk tubuhku.
"Kak... kamu semalem curang..." suara mengantuknya tiba-tiba terdengar.
Aku mengusap mataku. "Hah? Curang gimana?"
Dini mengangkat wajahnya, pipinya masih merah menggemaskan. "Semalem aku ngantuk banget, Kakak malah... begitu..." matanya berbinar nakal. "Tapi... enak kok, hehe."
Permainan Pagi Hari
Aku menghela napas sambil mengusap rambutnya yang berantakan. "Maafin kakak ya, Nduk. Aku ngga bisa nahan..."
Dini memeluk erat lenganku. "Sudah kubilang kan, ngga apa-apa. Kita kan sudah dewasa." Tiba-tiba tangannya nakal meraba perutku. "Kakak masih tegang nih, ya?"
"ih.., jangan macam-macam!" aku menggelitiknya, membuatnya terkikik.
Kejadian yang Terulang
Saat aku bersiap berangkat kerja, Dini berdiri di depan pintu dengan gaya polosnya.
"Hati-hati di jalan ya, Kak. Jangan lupa..."
Seperti kemarin, tanpa pikir panjang aku menunduk untuk mencium keningnya. Tapi—
Byar!
Lagi-lagi bibir kami bertemu.
Kami membeku sejenak... lalu sama-sama tertawa lepas.
"Kita payah banget ya, Kak!" Dini menutup mulutnya yang merah.
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Iya deh, udah aku pergi dulu. Nanti malah keterusan."
Perasaan yang Tak Terungkapkan
Di perjalanan menuju kantor, bibirku masih terasa hangat. Aku tersenyum sendiri mengingat tingkah polos Dini pagi tadi.
Sementara di rumah, Dini berdiri lama di depan pintu, jarinya menempel di bibirnya yang masih tersenyum.
Malam Penuh Pertimbangan
Lampu kamar redup menyinari wajah serius kami yang duduk berhadapan di tempat tidur. Udara terasa berat dengan ketegangan yang berbeda dari biasanya.
"Kakak... kita memang harus berhenti, ya?" Dini memecah keheningan, suaranya gemetar.
Aku mengangguk perlahan. "Iya, Nduk. Ini sudah keterlaluan. Kita bisa celaka kalau terus begini."
Permintaan Terakhir
Dini menarik napas panjang, lalu tiba-tiba menatapku dengan sorot mata yang membuat jantungku berdebar kencang.
"Kalau begitu... boleh minta satu kali lagi? Untuk terakhir kalinya?" Tangannya meraih tanganku. "Tanpa pengaman... seperti benar-benar milik kakak..."
Aku menelan ludah. "Tapi—"
"Crootnya diluar, Kak. Aku percaya kakak," bisiknya nakal sambil mendekatkan bibirnya ke telingaku.
Perpisahan yang Menggila
Tidak ada lagi kata-kata setelah itu.
Dini yang biasanya pemalu, malam ini berubah menjadi wanita liar yang tak kukenal. Dia menjatuhkan tubuhku ke kasur, lalu dengan gerakan penuh keyakinan melepaskan baju tidurnya.
"Kakak harus ingat malam ini," bisiknya sambil menaiki tubuhku.
Symphony of Passion
Pertama Kali Tanpa Batas
Kulit kami bersentuhan langsung tanpa penghalang, membuat kami sama-sama mengerang kaget. Sensasinya berbeda—lebih panas, lebih dalam, lebih nikmat, lebih... salah.Dini yang Berubah Total
"Lebih keras, Kak! Terus.. oh.. enak banget..ih.. kakak.. Aku mau—" teriaknya sambil kukunya mencengkeram punggungku. Aku tak pernah melihat sisi liar ini sebelumnya.Menari di Ambang Bahaya
Kami berguling-guling di kasur, terkadang dia yang di atas, terkadang aku yang menguasai. Setiap posisi kami coba, setiap sudut kasur kami jelajahi.Detik-Detik Kritis
"Aku mau keluar, Nduk—"
"Tunggu! Aku juga—"
Kami mencapai puncak hampir bersamaan, erangan Dini menggema di seluruh kamar. Aku segera menutup mulutnya dengan tanganku karena ngga enak kalau kedengeran tetangga, "Pelan nduk! .." Kata ku. "Nikmat banget kak..' jawab Dini dengan mata sayu sambil mengusap punggungku.
Aftermath yang Mengharukan
Kami tergeletak lemas, napas tersengal-sengal, kulit masih saling menempel.
Dini tiba-tiba memelukku erat. "Terima kasih sudah nemenin aku lewatin masa sulit ini, Kak."
Aku mencium keningnya yang berkeringat. "Kita akan baik-baik saja, Nduk."
Fantasi Dini
Setelah diam sesaat, "Kak, Aku... ingin mencoba sesuatu yang belum pernah aku lakukan," bisiknya, matanya menatap lantai. "Dengan suamiku dulu... kami tidak pernah..."
Permintaan Terlarang
Udara di kamar tiba-tiba terasa panas.
"Anal seks?" tebakku, jantung berdegup kencang.
Dini mengangguk malu-malu. "Ini benar-benar terakhir kali, Kak. Besok pagi kita lupakan semuanya. Janji."
Aku menarik napas dalam. Ini salah. Sangat salah. Tapi godaannya...
"Kamu yakin?"
Dini menjawab dengan menciumku dalam-dalam, tangannya sudah meraba milik ku.
Fantasi Terakhir yang Menggila
Persiapan Penuh Nafsu
Dini dengan gemetar membalikkan badan, memperlihatkan pantatnya yang bulat sempurna. "Pelankan ya, Kak... ini pertama kalinya..."Penyatuan yang Menyengat
Aku masuk perlahan, merasakan setiap sentimeter ketatnya. Dini mengerang panjang—campuran antara sakit dan kenikmatan.Transformasi Dini yang Tak Terduga
"Lebih keras, Kak! Enak banget kak! Ahh..!!— OH MY GOD!" teriaknya saat aku menemukan ritme sempurna.Klimaks yang Mengguncang
Kami mencapai puncak hampir bersamaan, erangan Dini menggema di seluruh kamar. Aku memuntahkan semua didalam lubang belakangnya.
Aftermath yang Pahit-Manis
Kami tergeletak lemas, tubuh basah oleh keringat.
"Terima kasih sudah memenuhi fantasiku, Kak," bisik Dini sambil mencium pipiku.
Aku memeluknya erat. "Janji kita, ini benar-benar terakhir."
Dini mengangguk, air mata menggenang di matanya. "Janji."